SPMB 2025: Sistem Baru, Masalah Lama?” Oleh Sugeng Pramono ( Ketua Aaliansi Jurnalis Persada Way Kanan )

Berita48 Dilihat

“SPMB 2025: Sistem Baru, Masalah Lama?”
Oleh Sugeng Pramono ( Ketua Aaliansi Jurnalis Persada Way Kanan )

Way Kanan, WARTA PORLI
Tahun ajaran baru sebentar lagi dimulai, dan seperti tahun-tahun sebelumnya, riuh rendah keluhan masyarakat kembali terdengar. Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025, yang digadang sebagai wajah baru pendidikan Indonesia, menuai berbagai respons dari publik. Aliansi Jurnalis Persada (AJP) way kanan di bawah kepemimpinan Sugeng Purnomo, mencermati fenomena ini dengan seksama.

Di atas kertas, SPMB 2025 tampak lebih modern dan manusiawi. Proses pendaftaran dilakukan secara digital, menyederhanakan birokrasi yang dulunya melelahkan. Empat jalur penerimaan — berdasarkan domisili, afirmasi, prestasi, dan mutasi — menawarkan pilihan yang terlihat adil dan beragam. Penghapusan syarat Kartu Keluarga sebagai satu-satunya bukti domisili pun dinilai sebagai langkah progresif untuk menutup celah manipulasi data.

> “Kita patut mengapresiasi kemajuan teknis sistem ini. Ada iktikad baik negara untuk membuka ruang seleksi yang lebih merata,” ujar Sugeng Purnomo saat ditemui di kantor AJP.

Namun, di balik tampilan modern itu, tersimpan kenyataan yang tak selalu seindah harapan.

Aliansi Jurnalis Persada menemukan fakta bahwa tidak semua keluarga di pelosok memiliki akses yang memadai ke teknologi. Proses daring yang disambut baik di kota-kota besar justru menjadi batu sandungan bagi masyarakat di desa-desa, terutama yang tak memiliki jaringan internet stabil atau perangkat memadai. Ini bukan sekadar soal akses, tapi tentang ketimpangan yang masih membelit pendidikan kita.

Tak hanya itu, jalur afirmasi yang ditujukan untuk membantu siswa dari keluarga miskin, justru kerap disusupi data palsu. Demikian pula jalur prestasi yang membuka peluang tak terbatas bagi siswa unggul, kini dibayang-bayangi kecurigaan akan praktik manipulasi nilai dan sertifikat instan.

“Ketika ruang keistimewaan dibuka tanpa pengawasan ketat, yang masuk justru mereka yang paling lihai memanfaatkan celah, bukan yang paling membutuhkan,” tegas Sugeng.

Namun tak semua suram. Kebijakan baru yang membuka peluang bagi siswa menyeberang antar kabupaten/kota untuk jenjang SMA dinilai sebagai angin segar, terutama bagi daerah yang minim sekolah negeri. Kerja sama dengan sekolah swasta yang didanai pemerintah juga memberi jaminan bahwa tak satu pun siswa harus kehilangan tempat belajar hanya karena tidak tertampung di sekolah negeri.

Meski begitu, ancaman terselubung tetap menghantui: praktik jual-beli kursi, titipan pejabat, atau trauma siswa karena tak diterima di sekolah yang mereka dambakan. Bagi anak usia belasan, kegagalan itu bisa meninggalkan bekas psikologis yang tak ringan.

Aliansi Jurnalis Persada menegaskan bahwa perbaikan sistem tak cukup hanya di tampilan, tetapi harus menyentuh hingga ke akarnya: kejujuran, pemerataan, dan pengawasan.

> “SPMB harus menjadi gerbang keadilan, bukan panggung kepentingan. Jangan sampai sistem ini hanya mempercantik kulit, tapi membiarkan penyakit lama tetap berakar,” tandas Sugeng.

Sistem penerimaan murid adalah cermin wajah pendidikan kita. Dan sejauh ini, cermin itu masih memantulkan bayangan yang belum utuh. Aliansi Jurnalis Persada akan terus mengawal jalannya SPMB dengan suara kritis dan semangat perubahan — demi masa depan anak-anak negeri yang lebih adil dan bermartabat.

(Epi Yopi)/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *