Warta Polri | Garut – Praktik pungutan liar (pungli) yang terus-menerus mencoreng citra pelayanan publik kepolisian kembali muncul di permukaan.
Kali ini, sorotan jatuh pada Satpas SIM Polres Garut setelah awak media menemukan indikasi kuat bahwa seorang pemohon SIM C disinyalir diminta membayar biaya hingga Rp800.000 jumlah yang jauh melampaui tarif resmi yang telah ditetapkan oleh negara.
Fenomena ini tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum, tetapi juga menunjukkan potensi lemahnya pengawasan internal yang mengizinkan pelanggaran hukum terjadi di lingkungan sendiri.
Berdasarkan penyelidikan awak media di lapangan, seorang pemohon SIM C mengaku telah dimintai uang sebesar Rp800.000 oleh oknum anggota polisi yang bertugas di Satpas SIM Polres Garut. Permintaan uang tersebut diduga dilakukan secara langsung, tanpa melalui mekanisme pembayaran resmi yang teratur.
Hal ini memunculkan dugaan kuat bahwa praktik pungli sedang berlangsung, yang jelas melanggar aturan hukum dan prinsip pelayanan publik yang adil dan transparan.
Pemohon yang merasa terbebani oleh permintaan tersebut mengaku tidak berani menolak, khawatir proses pembuatan SIMnya akan terhambat atau bahkan ditolak.
Keadaan ini menggambarkan bagaimana oknum yang memiliki wewenang bisa memanfaatkan posisi mereka untuk menekan masyarakat dan mengambil keuntungan pribadi, yang sepenuhnya bertentangan dengan amanah kepolisian sebagai pelindung dan pelayanan masyarakat.
Yang paling mencolok adalah selisih yang sangat besar antara biaya yang diminta oknum dan tarif resmi yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 76 Tahun 2020 tentang Jenis dan Tarif Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Lingkungan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), biaya resmi penerbitan SIM C hanya sebesar Rp100.000.
Jumlah ini belum termasuk biaya kesehatan dan asuransi resmi yang juga ditetapkan secara teratur, yang umumnya berkisar di bawah Rp50.000. Jika benar terjadi permintaan sebesar Rp800.000, maka selisih yang terjadi mencapai Rp700.000 jumlah yang sangat signifikan yang patut diduga sebagai hasil pungli yang masuk ke dalam kantong oknum atau jaringan yang terlibat.
Selisih ini tidak hanya menunjukkan tingginya tingkat pungli yang terjadi, tetapi juga betapa jauh pelayanan publik di Satpas SIM tersebut menyimpang dari standar yang ditetapkan.
Masyarakat yang seharusnya mendapatkan pelayanan dengan biaya terjangkau malah harus merogoh kantong lebih dalam hanya karena oknum yang tidak bertanggung jawab.
Untuk memastikan kebenaran temuan tersebut, awak media mencoba meminta konfirmasi resmi kepada Kasat Lantas Polres Garut, Iptu Aang Andi Suhandi, S.A.P., melalui pesan singkat WhatsApp pada hari Jumat (19/12/2025).
Dalam pesan tersebut, awak media tidak hanya menanyakan tentang dugaan pungli yang ditemukan, tetapi juga mempertanyakan standar pelayanan serta sistem pengawasan internal yang berjalan di Satpas SIM, mengingat adanya indikasi pelanggaran serius di lapangan.
Namun, alih-alih memberikan penjelasan substantif yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Kasat Lantas hanya merespons dengan kalimat singkat: “Nanti pak baur SIM nelp ya, punteun kami masih di masjid.
” Jawaban ini langsung dinilai oleh publik sebagai upaya untuk menghindari substansi persoalan dan menunjukkan lemahnya sikap tegas dari pimpinan dalam merespons dugaan pelanggaran serius yang dilakukan oleh anak buahnya.
Meskipun alasan sedang di masjid bisa dimengerti, publik mengharapkan setidaknya ada tanggapan yang menunjukkan kesediaan untuk menangani masalah tersebut secara serius setelah selesai aktivitas ibadah.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada klarifikasi resmi lanjutan maupun penjelasan terbuka dari pihak Polres Garut terkait dugaan pungli tersebut.
Ketidakhadiran tanggapan yang jelas ini semakin memperkuat keraguan masyarakat terhadap komitmen kepolisian untuk membersihkan diri dari elemen yang tidak pantas dan memberikan pelayanan yang baik.
Dugaan pungli di Satpas SIM Polres Garut ini merupakan salah satu contoh dari sejumlah kasus pelanggaran pelayanan publik yang terus muncul di kalangan kepolisian.
Setiap kasus yang muncul semakin merusak citra kepolisian sebagai lembaga yang dipercaya untuk melindungi kepentingan masyarakat dan menegakkan hukum. ( TIM )







