Usut KPA dan PPK: Dugaan Aliran Dana dalam Proses Lelang Proyek Dinas Kesehatan Kabupaten Tanggamus

Tanggamus — Indikasi penyimpangan dalam proses lelang proyek rehabilitasi puskesmas pembantu (Pustu) di Kabupaten Tanggamus menimbulkan kecurigaan publik. Dugaan paling mendasar terletak pada penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang terkesan seragam dan tidak realistis. Dari sembilan paket rehabilitasi Pustu, mayoritas ditetapkan dengan nilai HPS berkisar Rp260,4 juta.

Beberapa di antaranya meliputi: Rehabilitasi Pustu Talang Beringin dengan HPS Rp260.352.440; Rehabilitasi Pustu Suku Agung Timur Rp260.394.089; Rehabilitasi Pustu Tugu Papak Rp260.389.941; serta Rehabilitasi Pustu Karang Buah Rp260.368.100. Keseragaman nilai ini menimbulkan dugaan bahwa penyusunan HPS tidak melalui survei lapangan yang memadai, melainkan diarahkan untuk mengamankan keuntungan pihak tertentu. Ironisnya, untuk proyek berskala lebih besar seperti Pustu Atar Lebar dan Pustu Ulu Semong, HPS justru ditetapkan di angka sekitar Rp430 juta.

Selain persoalan HPS, muncul indikasi adanya praktik “tender arisan”, di mana pemenang lelang telah ditentukan sejak awal. Perusahaan lain yang ikut serta dalam proses tender diduga hanya berfungsi sebagai formalitas, sekadar pion untuk memenuhi persyaratan administrasi. Dalam hal ini, perhatian publik tertuju pada peran Taufik Hidayat selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Yekti Mulyani sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang menjadi penanggung jawab utama.

Hasil tender menunjukkan pola yang mencurigakan. Pemenang proyek Rehabilitasi Pustu Karang Buah adalah CV. Nuri Berkarya dengan nilai kontrak Rp235,3 juta; Rehabilitasi Pustu Talang Asahan dimenangkan oleh Pesisi Jaya Abadi Rp235,5 juta; sementara Rehabilitasi Pustu Sinar Petir dimenangkan CV. Ardion Jaya Putra Rp235,1 juta. Pola keseragaman nilai kontrak ini memperkuat dugaan adanya kolusi antara pejabat terkait dan kontraktor pelaksana.

Menurut Dr. Rudi Santosa, akademisi hukum administrasi publik dari Universitas Lampung, keseragaman HPS dalam proyek pengadaan merupakan tanda adanya potensi manipulasi. “Secara metodologis, penyusunan HPS seharusnya berbasis pada kajian lapangan yang objektif dan transparan. Jika nilainya seragam tanpa justifikasi teknis, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran prinsip good governance,” ujarnya.

Sementara itu, Lembaga Aliansi Indonesia Anti-Korupsi Pusat, Bapak Rudi sapaan nya, menegaskan bahwa dugaan praktik “tender arisan” harus segera diusut oleh aparat penegak hukum. “Paket proyek kesehatan sangat erat kaitannya dengan pelayanan publik. Jika sejak awal prosesnya sudah dikunci melalui kolusi antara pejabat dan kontraktor, maka kerugian terbesar justru ditanggung masyarakat, terutama dalam akses layanan kesehatan,” tegasnya.

Praktik semacam ini, apabila terbukti, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mencederai prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran publik. Oleh karena itu, publik mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas aliran dana dan keterlibatan pihak-pihak terkait dalam proses lelang proyek kesehatan di Kabupaten Tanggamus.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *