Nenek Tersangka Anak Berhadapan dengan Hukum Berharap Keadilan dan Kebijaksanaan Aparat Penegak Hukum

Uncategorized10 Dilihat

 

Warta Polri | Lampung Selatan — Seorang nenek bernama Rusmalah, janda lanjut usia yang selama ini merawat cucunya berinisial PT sejak berusia tiga bulan, menyampaikan harapan besar kepada aparat penegak hukum (APH) agar perkara yang menjerat cucunya dapat ditangani secara adil, proporsional, dan mengedepankan hati nurani. PT saat ini berstatus sebagai anak berhadapan dengan hukum (ABH) dalam perkara dugaan percobaan tindak pidana sebagaimana Pasal 365 KUHP.

 

Dalam keterangannya, Rusmalah mengaku hampir setiap hari larut dalam kesedihan dan tangisan, memikirkan nasib cucunya yang masih berstatus pelajar dan dibesarkannya seorang diri tanpa kasih sayang kedua orang tua. “Sejak kecil saya yang mengurus. Dia yatim piatu, belum pernah merasakan kehidupan yang layak seperti anak-anak lain. Saya mohon kepada bapak polisi, bapak jaksa, dan bapak hakim agar mengasihani cucu saya dan menilainya dengan keadilan serta hati nurani,” tutur Rusmalah sambil menitikkan air mata.

Pihak keluarga korban, melalui bibi korban bernama Suhesti, menjelaskan kronologis peristiwa tersebut. Menurutnya, selama PT tinggal bersama keluarga, perilakunya relatif terpantau dan terkontrol. Namun, perubahan terjadi setelah PT meninggalkan rumah selama kurang lebih satu bulan, dua minggu mengikuti kakaknya dan dua minggu berikutnya tinggal mengontrak di wilayah Teluk untuk bekerja sebagai buruh angkut di gudang lelang ikan. “Pengaruh lingkungan pergaulan di luar rumah sangat besar,” ujarnya.

 

Berdasarkan kronologis kejadian, keluarga menilai bahwa tindakan yang dilakukan PT lebih bersifat coba-coba dan dilakukan tanpa perencanaan matang. Peristiwa tersebut terjadi di lingkungan desa sendiri, dengan banyak saksi yang mengenal pelaku. Bahkan, sepeda motor yang menjadi objek perkara belum sempat dijual dan ditemukan di kontrakan PT. Dengan demikian, tidak terdapat kerugian materiil yang signifikan bagi pihak korban, selain biaya pencarian korban sejak sore hingga pagi hari.

 

Disebutkan pula bahwa korban tidak mengalami luka serius. Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), korban mengakui hanya mengalami pemukulan ringan, yakni sekitar lima kali, dengan rincian PT melakukan dua kali pukulan dan pelaku lain berinisial DB melakukan tiga kali pukulan. Korban juga sempat ditinggalkan di keramaian sekitar Kantor Gubernur Lampung, diduga karena kebingungan akibat belum terbiasa berada di wilayah perkotaan. Korban kemudian ditemukan oleh warga dalam kondisi sehat dan keesokan harinya dipertemukan kembali dengan orang tua serta keluarganya di Polsek setempat.

 

Keluarga pelaku menyampaikan bahwa sehari setelah kejadian, mereka telah mendatangi keluarga korban untuk menyampaikan permohonan maaf. Saat itu, korban terlihat dalam kondisi baik dan telah beraktivitas normal bersama teman-temannya. Upaya permohonan perdamaian kembali dilakukan sebanyak tiga kali oleh keluarga pelaku, termasuk kesediaan mengganti biaya yang mungkin timbul selama proses pencarian korban. Namun, pihak korban menyatakan telah sepenuhnya menyerahkan penanganan perkara kepada pihak kepolisian.

 

Mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) serta Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015, penyelesaian perkara anak melalui mekanisme diversi dimungkinkan, termasuk tanpa persetujuan korban, sepanjang memenuhi syarat tertentu. Pasal 7 PP Nomor 65 Tahun 2015 menegaskan bahwa kesepakatan diversi dapat dilakukan tanpa persetujuan korban apabila tindak pidana tergolong pelanggaran, tindak pidana ringan, tidak menimbulkan korban serius, serta nilai kerugian tidak melebihi Upah Minimum Provinsi (UMP).

 

Diversi, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, bertujuan untuk menghindarkan anak dari stigma negatif, mencegah pembalasan, serta mengutamakan kepentingan terbaik anak dengan tetap memperhatikan kepentingan korban dan keharmonisan masyarakat. Bentuk penyelesaian dapat berupa pengembalian kepada orang tua atau wali, rehabilitasi psikososial, pelayanan masyarakat, atau keikutsertaan dalam pendidikan dan pelatihan.

 

Menutup keterangannya, keluarga pelaku berharap dukungan maksimal dari tim kuasa hukum dan seluruh pihak terkait untuk membantu masyarakat tidak mampu. “Kami saat ini berada di titik terendah roda kehidupan. Kami hanya berharap ada keadilan yang manusiawi bagi anak kami,” pungkas perwakilan keluarga. (Tim)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *